Jumat, 28 September 2018

Potongan Cerpen 3

Siang itu langit cerah jadi aku berpikir bagaimana kalau aku mengajak Kak Hanan main badminton setelah ia pulang sekolah. Kak Hana yang senang kegiatan seperti ini tidak akan menolak ajakanku atau seperti itu pikiranku.
Kalau begitu aku kunjungi saja dia. Aku menuju pintu dan memasang sepadu sendalku. “Bu, aku ke rumah Kak Hana ya!”  pamitku kepada Ibu.
“Heeh stop stop.. pr sudah dikerjain belum dek?” Ibu menyetopku, saat itu hari sabtu dan esoknya, minggu, Ibu harus bekerja. Akibatnya setiap Jum`at dan Sabtu ia selalu mengawasiku agar belajar dan mengerjakan pr, di hari liburnya.
Aku pun mengelak, “Abis ini aja, Bu. Aku mau main badminton dulu.”
Ibuku tidak setuju,“Nggak, kerjain dulu.” Katanya selagi menyapu halaman.  “Kemarin kamu ngga liat apa rapor kamu? Merah, merah, merah.”
 Dengan itu semangatku hilang sudah.  
Aku pun menurut. “Habis itu aku main ya Bu?” Ibuku mengiyakan dan kembali menyapu halaman. Aku mencopot sepatu sendalku dan kembali ke kamar. Aku tak langsung membuka buku dan mengerjakan pr, atau hanya sekedar mengulang pelajaran Jumat kemarin. Aku menghabiskan setengah jam pertama bermain snake di HP yang sekarang disebut Nokia jadul, namun bagiku saat itu HP itu sumber hiburanku. Akibatnya HP nokia itu menjadi godaan.
Menyadari aku terlalu lama bermain snake, mungkin aku harus mengerjakan pr sedikit. Aku membaca buku cetak Matematika secara religious dan baru setelah itu aku menjawab latihan latihan. Ini kan caranya sama semua, masa aku mesti tulis lagi pikirku yang terlalu malas.
“Ya sudahlah, yang penting aku udah nguasai.” Bagiku yang membenci pr, aku tidak mengerti. Kalau aku sudah mengerti cara mengerjakan soal ini, mengapa soal berikutnya yang identik perlu aku kerjakan. Begitulah cerita mengapa nilai raporku banyak yang merah.
Singkat cerita atas keinginan bermain di luar, secara ajaib aku menyelesaikan semua tugas dalam sekali duduk. Sampai saat ini aku masih bingung bagaimana itu terjadi.
“Ibu, PR udah semua.”
“Mana liat.”
“Nih. Coba koreksi Bu.”
“Kamu ini, udah tau Ibu ngga ngerti.” Ibu mengernyitkan dahinya, “Kamu ngerjain matematika atau harta karun. Pake huruf x segala.” Kata ibu sambil tertawa.
“Hmph Hmph.” Aku ikutan tertawa. “ Udah ya bu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati.”
Aku memakai sepatu sandal dan meluncur ke rumah Kak Hana
“Kak Hana!!!” Panggilku seraya memasuki rumahnya.
“Eeeh Dedek, apa kabar? Ibu gimana, sehat?”
Panggilanku dibalas Pak Wili, “Sini, sini mau makan dulu?”
“Sehat Om, Ah ngga usah saya udah makan tadi.”
Pak Wili adalah ayah Kak Hana, sejak ayah meninggal ia sering membantu keluargaku. Ia memiliki perguruan taekwondo yang biasa saja, ia juga mengajar eskul taekwondo di sekolahku dan sekolah Kak Hana. Ia sudah cukup tua untuk mengajar namun ia masih fit.
 “Haah.. ntar sore ya Dek. Kakak capek.” Kak Hana baru saja keluar dari kamar mandi. Ia habis mandi. “Duuh, ngurus anak pramuka capek.”


“Masuk!” seru Kak Hana. Kok yang aku pukul, ia menyabetnya sehingga jatuh di wilayahku. “Ayo, Ayo. Tadi kamu ngajakin kan.”
“Ha!!!” aku melempar kok dan menyabetnya. Bukan cara benar melakukan servis tapi aku ingin membalas dengan smash, terlebih lagi karena lebih keren seperti ini.
Kak Hana langsung menyabet balik dan masuk lagi, “Masih mau lagi ngga Dek? Biar aku smash.” Kak Hana tersenyum menertawaiku. “Hooh…,” Ia menguap, “Cowok apa cewek sih, mukul lemah banget.” Kak Hana mengejekku
“Dih, ini anginnya ngelawan aku mulu. Tuker tempat yuk. “
“Ah, ngga usah. Sepoi-sepoi doang.”
“Main santai aja lah Kak. Nyemplung sungai aja deh.”
“Nggaseru nanti, lagian kapan sih kita main di sini kok nyemplung. Udah pengalaman Aku main di sini.  Ayo lempar!.”
“Ya udah Hati-hati nyangkut.”ketusku. Aku menunggu angin mereda baru memukul. Pukulanku dibalas kencang sehingga kok terbang jauh dariku, dan akhirnya tersangkut di antara dahan pohon beringin muda.
“Tuh kan, gak seru Kak . Main jangan ngegas dong.” Aku memukulkan tanganku ke wajah, haduuh capek deh.” Kak, tanggung jawab kak.” Suruhku.
“Iya, iya setidaknya ngga nyemplung kan.” Kak Hana mencoba mendorong dahan dengan raket menyebabkan dahan bergoyang, tetapi kok tidak kunjung jatuh.
“Wah mesti pinjem bangku Kak.”
“Kamu coba manjat deh. Waktu itu kan beegitu.”
“Ya pas itu aku yang nyangkutin. Sekarang siapa?” Aku menolak
        Akhirnya  Kak Hana menurut dan  meletakan raketnya lalu mencari bangku. Tempat kami bermain memang rawan kok hilang. Di sebelah adalah pohon pohon dan di sebelah lagi ada kali.
          Dengan berkurangnya tanah lapang di Jakarta dan tertutama tempatku tinggal, Kami memakai apapun yang tersedia termasuk bantaran kali ciliwung ini.  Walaupun bantaran kali semestinya berfungsi untuk normalisasi kali, kami anak-anak melihatnya sebagai lapangan bermain.
Kak Hana kemudian kembali membawa bangku tukang bakso. Tampaknya ia meminjam dari Kang Roni di ujung jalan. Kak Hana kemudian naik dan mencoba lagi mendorong-dorong dahan dengan raket.
“Deek.. Manjat lah. Katamu kan pakai bangku, ngga nyampe juga.”
Bukan salahku kalau bangkunya kependekan. Merasa kasihan aku kemudian membuka sepatusendalku dan mulai memanjat.
“Kak, jatuh tanggung jawab ya.”
“iya, iya. Kamu jatuh nanti aku urutin.”
Setelah memanjat dan berada di antara dahan dan daun, Kak Hana berteriak padaku.”Selama niat kita ngga mengganggu, Inshaallah penunggunya ngga kesal.”
“Aww, jangan dilempar ke aku dong.” Yang kesal bukan penunggunya, tapi aku. Salah Kak Hana sendiri ingin mengusiliku, padahal aku lagi bantuin dia. Yasudah, terbanglah kok itu ke kepalanya.
“Makanya kak, jangan teriak-teriak. Tuh kakak dilemparin penunggunya.” Aku melompat turun dari pohon.
Kalau usil memang dia seperti ini, suka menggoda bocah pakai cerita-cerita mistis nan aneh.  Kalau sudah bicara hantu, dia sudah lepas bicaranya
“Iseng gitu jadi korban loh kak, Hati-hati omongan itu. Mesti dijaga ,kata orang tua.” Walau aku tak pernah melihat ada yang celaka karena iseng gituan tapi biarlah, semoga ia mengurangi cerita hantunya.

“Kamu ngga tau apa si anak Haji salim gimana?” Ia mulai bercerita. “Minggu lalu di kakinya muncul kalajeng.. eh jangan kabur dong.” Tentu saja aku kabur langsung pulang, daripada mendengar cerita aneh-aneh.

Senin, 24 September 2018

Potongan Cerpen 2












"Ibu, aku berangkat ya." Andra melihat jam tangan kemudian ia memasang sepatu. Di mulutnya masih terdapat sisa sarapan.


 "Tungga sayang, kau sudah baca semua kan email  dari sekolah?" kata Ibu Andra mengingatkan.

"Aku baru baca tadi, Aku sudah bawa semua perlengkapan yang disuruh."Jawab Andra.

“Yakin sudah semua?.”

Andra membuka HPnya kemudian membuka email.

“Hmm.. seragam smp asal,cek. Sepatu hitam, cek. Datang jam 6:30, cek.” Andra memeriksa lagi email itu. Ketika Andra sudah yakin tidak kelupaan apapun, Ia menyadari suatu info yang terlewat. “Bu, Aku masuk kelas X-3. Aku berangkat ya.”

“Iya,hati-hati.” Kata ibu

Andra berangkat sekolah, menaiki sepeda hitam yang masih awet sejak sekolah dasar. Berangkat sekolah sekaligus olahraga baru-baru ini ia terapkan, mengingat ia ingin menjaga kondisi tubuhnya. Pukul enam, ia sampai di sekolah barunya.

“Pagi Pak, sepeda taro sini boleh?”

Pak Satpam mengangguk

“Masih sedikit yang datang, yasudahlah aku jalan-jalan bentar.” Kata Andra setelah ia memarkirkan sepeda di tempat parker motor. Ia sempat bertanya-tanya bila disediakan parker motor apakah murid disini boleh bawa motor atau khusus karyawan. Ia tidak mau berpikir banyak di hari pagi itu sehingga ia menghilangkan penasarannya itu.

“Haaah…” Ia menghembuskan nafas, matanya memandang pepohonon yang berbaris di trotoar. Andra kemudian duduk di bangku taman yang tersedia, memanjangkan tangan dan kakinya seraya merasakan sejuknya udara pagi. Berada di sini sangat menenangkan. Coba bisa gini lebih lama

Seiring waktu berlalu, semakin Andra tidak bisa menikmati suasana pagi. Setiap menitnya makin banyak kendaraan melintas baik motor maupun mobil. Andra merasa cukup dan kembali ke gerbang sekolah. Pemandangan sudah berbeda dari sekitar setengah jam lalu.

 “Hero!!”Suara lembut dan bersemangat, seperti gadis yang memanggil kuat pasangannya setelah terpisah sekian lama.  Suara itu benardatang dari seorang gadis. Gadis dengan pakaian putih biru khas smp itu melambaikan tangannya. Namun, orang yang ia panggil tampaknya tidak mendengarnya. Ia memanggilnya lagi.

“Hero!” Kali ini suaranya lebih kuat dan keras, tetap saja orang yang ia panggil yang saat ini di depan gerbang tidak memerhatikan, malah ia memunggungi gadis itu. “Wis, cukup.” Ucapnya dengan logat jawa.
     
     Andra mengecek jam, sebentar lagi pukul setengah tujuh. Ketika ia baru masuk gerbang, ia baru ingat sesuatu. Kunci gembok sepedanya masih tertancap, lupa ia ambil. Baranngkali tadi ia terlena oleh suasana pagi di sini. Akan repot kalau ada apa-apa, ia bergegas ingin mengambil kunci gemboknya.
          “Excuse-moi. Emm.. is it.. apakah ini 68?.”
          “

AND THEN THEY ALL F***ED
Happy ending for all






Rabu, 12 September 2018

Potongan cerpen

Orang-orang berlalu lalang di ruang tunggu rumah sakit. Pasien-pasien yang akan diperiksa dokter duduk menunggu giliran; cleaning service mengepel lantai basah depan toilet; Suster-suster membawa dokumen hasil analisa medis; dan pedamping serta penjenguk yang menunggu jam jenguk dimulai.
 Di antara orang-orang itu seorang gadis berok kuning tampak membawa setangkai bunga. Matanya memandang sekitar bingung ke mana ia harus bertanya. Awalnya ia berpikir untuk bertanya pada meja informasi yang ada di sebelah pendaftaran pasien. Namun, lupakan saja, banyak yang mengantri dan staff-staff sedang kewalahan.
Maklum saja rumah sakit sedang ramai, karena sekarang musim pancaroba dan penyakit musiman seperti flu dan pilek. Walau begitu, gadis itu tidak datang untuk berobat. Ia datang untuk menjenguk, menjenguk seseorang yang sangat berarti
“Permisi, Sus. Kalau ingin menjenguk ke mana dulu ya?”
“Di ruangan berapa dik?”
“Emm.. Kamar nomor 107”
“107.. Kamar Rose ya. Gini dik, nanti adik naik lift ke lantai 3. Lalu belok kanan ada tulisan kamar Rose.  Nanti di sana ada nomor kamar bisa dicek.”
“Terimakasih Sus.”
“ Tapi sebentar lagi ya dik. Jam besuk masih setengah jamlagi.”
Gadis itu mengangguk tanda mengerti.  Ia mengambil tabloid olahraga dari tempat koran dan membacanya. Ia terlelap dalam bacaannya sehingga tidak sadar setengah jam sudah berlalu.
Setelah mengembalikan tabloid olahraga itu, ia naik ke lantai 3 dan setelah mengikuti arahan suster tadi ia sampai ke kamar yang ia tuju, kamar rose 107.
“Permisi.”
Gadis berok kuning itu masuk, ia meletakan sepatu sandal berbunganya ke rak sepatu yang kosong dekat pintu masuk. Ia berusaha membuat sesedikit mungkin suara tak ingin membangunkan siapapun yang tertidur di kamar karena ada pasien lain yang terlelap  dalam kamar.
 Ia meletakan tangkai bunga yang ia bawa ke dalam vas disebelah kasur yang dimana seorang kakek tertidur.
“Pagi Ayah,”
“Duh sepi ya di sini. Untung aku datang.”
“Begitu aku dengar dari para senpais, aku langsung buru-buru ke sini.”
“Ayah, tahun depan ayah dateng dong. Kemarin aku dapat juara 2 loh.”
“Lawanku tangguh banget, namanya You-san. Gesit lah, Refleks dia cepet, sangat cepet.”
“Trus-trus, pas aku pikir pukulanku akan masuk, dia mengeblok trus aku dicounterattack deh.”
“Yah. Janji ya..”
“Sst.. sst.. sensei lagi tidur.”
“Kak Hana!”
“Kami minta maaf, benar benar. Tapi Sensei  yang meminta kami tidak memberitahu dulu. Ia tak ingin kamu khawatir. ”
“Ah, sensei Bimo. Nggak papa, nggak papa. Ayah memang begitu kok, hahaha.”
“Sudah-sudah, dokter juga bilang sensei bakal sehat beberapa minggu lagi. Yok kita main di taman bawah.”
“Kak Hana! Tu.. turunkan aku!”
“Sudah, gak usah berontak dong. Dah sensei~”

Menerapkan sumpah pemuda Kita sebagai generasi z yg terlahir antara 1995-2014 adalah calom generasi emas. Kitalah yang akan menikmati bon...