Siang itu langit cerah jadi aku berpikir bagaimana kalau aku mengajak
Kak Hanan main badminton setelah ia pulang sekolah. Kak Hana yang senang
kegiatan seperti ini tidak akan menolak ajakanku atau seperti itu pikiranku.
Kalau begitu aku kunjungi saja dia. Aku menuju pintu dan memasang sepadu
sendalku. “Bu, aku ke rumah Kak Hana ya!” pamitku kepada Ibu.
“Heeh stop stop.. pr sudah dikerjain belum dek?” Ibu menyetopku, saat
itu hari sabtu dan esoknya, minggu, Ibu harus bekerja. Akibatnya setiap Jum`at
dan Sabtu ia selalu mengawasiku agar belajar dan mengerjakan pr, di hari
liburnya.
Aku pun mengelak, “Abis ini aja, Bu. Aku mau main badminton dulu.”
Ibuku tidak setuju,“Nggak, kerjain dulu.” Katanya selagi menyapu
halaman. “Kemarin kamu ngga liat apa
rapor kamu? Merah, merah, merah.”
Dengan itu semangatku hilang
sudah.
Aku pun menurut. “Habis itu aku main ya Bu?” Ibuku mengiyakan dan
kembali menyapu halaman. Aku mencopot sepatu sendalku dan kembali ke kamar. Aku
tak langsung membuka buku dan mengerjakan pr, atau hanya sekedar mengulang
pelajaran Jumat kemarin. Aku menghabiskan setengah jam pertama bermain snake di
HP yang sekarang disebut Nokia jadul, namun bagiku saat itu HP itu sumber
hiburanku. Akibatnya HP nokia itu menjadi godaan.
Menyadari aku terlalu lama bermain snake, mungkin aku harus mengerjakan
pr sedikit. Aku membaca buku cetak Matematika secara religious dan baru setelah
itu aku menjawab latihan latihan. Ini kan caranya sama semua, masa aku mesti
tulis lagi pikirku yang terlalu malas.
“Ya sudahlah, yang penting aku udah nguasai.” Bagiku yang membenci pr,
aku tidak mengerti. Kalau aku sudah mengerti cara mengerjakan soal ini, mengapa
soal berikutnya yang identik perlu aku kerjakan. Begitulah cerita mengapa nilai
raporku banyak yang merah.
Singkat cerita atas keinginan bermain di luar, secara ajaib aku
menyelesaikan semua tugas dalam sekali duduk. Sampai saat ini aku masih bingung
bagaimana itu terjadi.
“Ibu, PR udah semua.”
“Mana liat.”
“Nih. Coba koreksi Bu.”
“Kamu ini, udah tau Ibu ngga ngerti.” Ibu mengernyitkan dahinya, “Kamu
ngerjain matematika atau harta karun. Pake huruf x segala.” Kata ibu sambil
tertawa.
“Hmph Hmph.” Aku ikutan tertawa. “ Udah ya bu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati.”
Aku memakai sepatu sandal dan meluncur ke rumah Kak Hana
“Kak Hana!!!” Panggilku seraya memasuki rumahnya.
“Eeeh Dedek, apa kabar? Ibu gimana, sehat?”
Panggilanku dibalas Pak Wili, “Sini, sini mau makan dulu?”
“Sehat Om, Ah ngga usah saya udah makan tadi.”
Pak Wili adalah ayah Kak Hana, sejak ayah meninggal ia sering membantu
keluargaku. Ia memiliki perguruan taekwondo yang biasa saja, ia juga mengajar
eskul taekwondo di sekolahku dan sekolah Kak Hana. Ia sudah cukup tua untuk
mengajar namun ia masih fit.
“Haah.. ntar sore ya Dek. Kakak
capek.” Kak Hana baru saja keluar dari kamar mandi. Ia habis mandi. “Duuh,
ngurus anak pramuka capek.”
“Masuk!” seru Kak Hana. Kok yang aku pukul, ia menyabetnya sehingga
jatuh di wilayahku. “Ayo, Ayo. Tadi kamu ngajakin kan.”
“Ha!!!” aku melempar kok dan menyabetnya. Bukan cara benar melakukan
servis tapi aku ingin membalas dengan smash, terlebih lagi karena lebih keren
seperti ini.
Kak Hana langsung menyabet balik dan masuk lagi, “Masih mau lagi ngga
Dek? Biar aku smash.” Kak Hana tersenyum menertawaiku. “Hooh…,” Ia menguap, “Cowok
apa cewek sih, mukul lemah banget.” Kak Hana mengejekku
“Dih, ini anginnya ngelawan aku mulu. Tuker tempat yuk. “
“Ah, ngga usah. Sepoi-sepoi doang.”
“Main santai aja lah Kak. Nyemplung sungai aja deh.”
“Nggaseru nanti, lagian kapan sih kita main di sini kok nyemplung. Udah
pengalaman Aku main di sini. Ayo lempar!.”
“Ya udah Hati-hati nyangkut.”ketusku. Aku menunggu angin mereda baru memukul.
Pukulanku dibalas kencang sehingga kok terbang jauh dariku, dan akhirnya
tersangkut di antara dahan pohon beringin muda.
“Tuh kan, gak seru Kak . Main jangan ngegas dong.” Aku memukulkan tanganku
ke wajah, haduuh capek deh.” Kak, tanggung jawab kak.” Suruhku.
“Iya, iya setidaknya ngga nyemplung kan.” Kak Hana mencoba mendorong
dahan dengan raket menyebabkan dahan bergoyang, tetapi kok tidak kunjung jatuh.
“Wah mesti pinjem bangku Kak.”
“Kamu coba manjat deh. Waktu itu kan beegitu.”
“Ya pas itu aku yang nyangkutin. Sekarang siapa?” Aku menolak
Akhirnya Kak Hana menurut dan meletakan raketnya lalu mencari bangku. Tempat
kami bermain memang rawan kok hilang. Di sebelah adalah pohon pohon dan di
sebelah lagi ada kali.
Dengan berkurangnya tanah lapang di
Jakarta dan tertutama tempatku tinggal, Kami memakai apapun yang tersedia
termasuk bantaran kali ciliwung ini. Walaupun
bantaran kali semestinya berfungsi untuk normalisasi kali, kami anak-anak
melihatnya sebagai lapangan bermain.
Kak Hana kemudian kembali membawa bangku tukang bakso. Tampaknya ia
meminjam dari Kang Roni di ujung jalan. Kak Hana kemudian naik dan mencoba lagi
mendorong-dorong dahan dengan raket.
“Deek.. Manjat lah. Katamu kan pakai bangku, ngga nyampe juga.”
Bukan salahku kalau bangkunya kependekan. Merasa kasihan aku kemudian
membuka sepatusendalku dan mulai memanjat.
“Kak, jatuh tanggung jawab ya.”
“iya, iya. Kamu jatuh nanti aku urutin.”
Setelah memanjat dan berada di antara dahan dan daun, Kak Hana berteriak
padaku.”Selama niat kita ngga mengganggu, Inshaallah penunggunya ngga kesal.”
“Aww, jangan dilempar ke aku dong.” Yang kesal bukan penunggunya, tapi
aku. Salah Kak Hana sendiri ingin mengusiliku, padahal aku lagi bantuin dia. Yasudah,
terbanglah kok itu ke kepalanya.
“Makanya kak, jangan teriak-teriak. Tuh kakak dilemparin penunggunya.” Aku
melompat turun dari pohon.
Kalau usil memang dia seperti ini, suka menggoda bocah pakai
cerita-cerita mistis nan aneh. Kalau
sudah bicara hantu, dia sudah lepas bicaranya
“Iseng gitu jadi korban loh kak, Hati-hati omongan itu. Mesti dijaga ,kata
orang tua.” Walau aku tak pernah melihat ada yang celaka karena iseng gituan
tapi biarlah, semoga ia mengurangi cerita hantunya.
“Kamu ngga tau apa si anak Haji salim gimana?” Ia mulai bercerita. “Minggu
lalu di kakinya muncul kalajeng.. eh jangan kabur dong.” Tentu saja aku kabur
langsung pulang, daripada mendengar cerita aneh-aneh.